Dildaar80's Weblog

Posts Tagged ‘MUI

Mau tahu siapa Amidhan?

Haji Amidhan dan Haji Muhidin

“Saya bukan pejabat negara karena itu saya bisa menerima gratifikasi!” Itulah gaya Haji Amidhan, ketua Majlis Ulama Indonesia yang terang-terangan mengaku menerima gratifikasi tanpa sedikit pun merasa bersalah! (Lihat majalah Tempo edisi 24 Feb-2 Maret 2014).

“Saya ketua RW. Saya paling berhak meresmikan panti asuhan yatim piatu ini. Saya orang paling penting di sini. Karena saya ulil amri, masyarakat di sini seharusnya menghormati saya,” kata Haji Muhidin kesal karena tak diberi kesempatan untuk meresmikan yayasan yatim piatu di kampungnya. Haji Muhidin adalah tokoh paling nyebelin dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji (TBNH) di RCTI yang diputar tiap malam.

Tetanggaku orang Batak yang beragama Kristen sampai bertanya tentang kelakuan Haji Muhidin: Apa gelar haji itu pantas untuk dibanggakan? Bukankah haji itu sebuah ibadah dan kewajiban umat Islam? Aku jawab, betul. Bagi sebagian besar umat Islam, gelar haji itu sebuah kebanggaan dan kehormatan. Alasannya, haji itu biayanya mahal. Beda dengan kewajiban salat, puasa, dan zakat. Orang yang melakukannya tak punya gelar karena biayanya murah. Tak ada orang bergelar Puasa Nasution, Salat Panjaitan, atau Zakat Siregar! Sitanggang, tetanggaku itu pun tersenyum!

Haji Amidhan, secara faktual jelas lebih hebat dari Haji Muhidin. Dalam sinetron TBNH, Haji Muhidin hanya tokoh kampung, ketua RW. Dia tidak bergelar Kyai. Beda dengan Amidhan. Ia bergelar kyai di samping haji, sehingga ‘atributnya’ amat menyilaukan: KH Amidhan. Jabatannya, Ketua Majlis Ulama Indonesia. Sungguh terhormat! Orang-orang non-Islam dan orang luar negeri menganggap, MUI adalah representasi umat Islam Indonesia yang jumlahnya 250 juta orang lebih. Sebuah besaran yang menarik untuk dunia marketing. Karena itu, keputusan halal dan haramnya sebuah produk oleh MUI sangat berpengaruh terhadap pasar produk bersangkutan di Indonesia yang jumlah penduduknya menggiurkan perusahaan makanan dan obat-obatan. Itulah sebabnya, perusahaan pengekspor daging sapi dari Australia berani mengeluarkan uang sampai ratusan ribu dolar untuk “membeli” serifikasi halal dari MUI.

Kondisi seperti itu, jelas menjadikan MUI sebagai lembaga yang sangat powerful. Sama dengan Mahkamah Konstitusi (MK). Jika keputusan MK mengikat dan final, maka keputusan halal dan haramnya sebuah produk oleh MUI, juga mengikat dan final (untuk sebagian umat Islam yang menganggap MUI sebagai representasi ulama Indonesia). Bagi orang-orang bermental korup seperti Akil Mochtar, kekuasaan mutlak itu, akhirnya dimanfaatkan. Dan berhasil. Calon-calon kepala daerah dengan mudah menggelontorkan uang untuk Akil agar MK memenangkannya di pengadilan. Hal yang nyaris sama, terjadi pula di MUI. Sejumlah perusahaan, dengan mudah menggelontorkan uang untuk mendapatkan sertfikat halal. Dan uang itu sebagian masuk ke kantong pribadi penguasa MUI. Sebagaimana penguasa yang lain, uang itu pun dianggap halal. “Mosok penguasa MUI yang mengeluarkan sertifikat halal tidak bisa membuat sertifikat halal untuk uang gratifikasi yang diterimanya sendiri?,” kata Si Kebayan. Jadi, jangan heran bila logika Haji Amidhan seperti itu. “Saya bukan pejabat negara karena itu halal menerima gratifikasi.”

Logika Amidhan adalah logika penguasa. Bukan logika pemimpin, apalagi logika ulama. Syaikh Ahmad bin Hambal, ulama ahli fikih yang lazim dikenal dengan nama Imam Hambali, disiksa khalifah karena tak mau jadi qodi (hakim). Padahal, saat itu, Imam Hambali dianggap orang yang paling mumpuni dalam ilmu fiqih. Beliau tak mau jadi hakim karena takut salah dalam memutuskan sebuah perkara di pengadilan. Beliau sangat takut hukum yang diputuskannya terpengaruh gratifikasi. Jangankan menerima uang ribuan dolar, Imam Hambali mengharamkan seorang hakim menerima pinjaman payung dari seseorang. Sebab bukan tak mungkin, suatu ketika orang yang meminjamkan payung itu, nanti berperkara di pengadilan dan hakimnya adalah orang yang dipinjami payung tadi. Itulah sebabnya Ahmad bin Hambal menolak pengangkatan dirinya sebagai hakim. Beliau takut kehilangan kezuhudannya. Bandingkan dengan penguasa MUI. Keputusan halal haram suatu produk, ternyata diperjual-belikan. Nama besar ulama dan majlisnya dibuang ke tong sampah hanya karena segepok dolar!

Bercermin kasus suap oknum MUI ini, umat Islam seharusnya mulai curiga terhadap keputusan-keputusan MUI yang lain. Jangan-jangan fatwa “penyesatan mazhab Syiah dan Ahmadiyah” juga berbau suap. Saat ini, misalnya, provokasi penyesatan Syiah oleh kelompok-kelompok tertentu yang didanai Saudi Arabia (yang ketakutan terhadap Iran) sangat luar biasa. Jangankan lembaga selebesar MUI, lembaga ecek-ecek di kampung saja diguyur uang oleh agen-agen Saudi yang berkongsi dengan Israel untuk memfitnah Syiah (mazhab yang dianut mayoritas rakyat Iran). Sama seperti keputusan panel MK yang diketuai Akil Mochtar yang kini diragukan kebenarannya setelah ketahuan “sang hakim” menerima suap dalam perkara pilkada, begitu juga keputusan MUI di zaman Haji Amidhan patut diragukan kebenarannya.

Gus Dur, Cak Nur, Mas Djohan, Kyai Masdar dan banyak tokoh Islam lain, sejak lama “mencurigai” sepak terjang MUI. Fatwa-fatwanya sering menjadikan umat Islam yang tidak sepaham dengan penguasa MUI – seperti pengikut Ahmadiyah dan Syiah – terjepit dan menjadi sasaran amuk umat yang merasa mayoritas. Anehnya fatwa-fatwa MUI yang bertentangan dengan UUD 45 dan Pancasila dibiarkan negara. Padahal, akibat fatwa MUI, ribuan orang-orang Ahmadi di NTB hidupnya amat menderita. Rumah mereka hancur dan sumber kehidupan ekonominya lenyap. Mereka seperti hidup di pengungsian di negara asing. Di Sampang, orang-orang Syiah juga harus mengungsi dari tanah kelahirannya. Sebagian umat Islam yang merasa mendapat “serifikat halal” dari MUI menganggap sah dan tak berdosa menghancurkan rumah-rumah orang Ahmadi dan Syiah. MUI telah memberikan sertifikat halal untuk mendestruksi kemanusiaan.

Kita patut bertanya: mewakili umat Islamkah MUI? Jelas tidak! Kini, Allah Yang Rahman dan Rakhim, telah membuka kedok monster-monster korup dan antikemanusiaan dari oknum-oknum MUI. Ternyata mereka tak lebih baik dari politisi busuk di Senayan yang suka membuat undang-undang korup untuk menggangsir uang! Itulah wajah MUI yang selama ini amat dihormati umat Islam! Memalukan! Penguasa MUI, rupanya punya mazhab tersendiri. Namanya Ahlussuap Waljamaah! (Semoga setelah Ketua MUI diganti Prof. Dr. Din Syamsudin, MUI berubah wajah dan menegakkan Islam dengan basis adil, salam, rahman, dan rahim. Tak ada fatwa yang diskriminatif, tak ada fatwa yang menteror, tak ada fatwa yang menghalalkan suap). Semoga!
– See more at: http://inspirasi.co/forum/post/3734/haji_amidhan_dan_haji_muhidin#sthash.dlNBKrqq.dpuf
http://inspirasi.co/forum/post/3734/haji_amidhan_dan_haji_muhidin

TEMPO.CO , Jakarta: Mohammed El-Mouelhy, Presiden Halal Ceritification Authority Australia, menyanggah pernyataan Ketua Majelis Ulama Indonesia Amidhan Shaberah soal biaya perjalanan ke Australia pada 2-8 April 2006. Dalam wawancaranya dengan majalah Tempo edisi 24-30 Februari 2013, Amidhan mengatakan biaya peninjauan lembaga-lembaga halal itu atas biaya Kementerian Agama. Baca entri selengkapnya »


Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Bergabung dengan 27 pelanggan lain
April 2024
M S S R K J S
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
282930  

Top Rating

Komentar Terbaru

Ratu Adil - 666 pada Ratu Adil Bukan Orang Ind…
Ratu Adil - 666 pada Ratu Adil Bukan Orang Ind…
Ratu Adil - 666 pada Ratu Adil Bukan Orang Ind…
Ratu Adil - 666 pada Ratu Adil Bukan Orang Ind…
Ratu Adil - 666 pada Ratu Adil Bukan Orang Ind…

RSS Berita Detik

  • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.