Dildaar80's Weblog

Archive for September 2009

Ingatlah selalu bahwa bila seseorang menyatakan kalau ia beriman pada Tuhan yang Maha Esa, yang tanpa sekutu, serta beriman kepada Rasulullah Muhammad saw. serta meyakini segala hal lain berkaitan dengan agama, tetapi realitasnya pernyataan itu hanya merupakan ucapan di bibir semata dan hatinya tidak mengakuinya, maka pernyataan demikian tidak akan membawa keselamatan baginya.

Keselamatan tidak akan diperoleh sampai suatu saat hati telah mengimani dan hal demikian menjadi nyata jika perilaku dan amal perbuatan yang bersangkutan membuktikannya. Sampai keadaan demikian tercapai, tidak ada sesuatu yang telah dicapai. Sesungguhnya aku nyatakan dengan sebenarnya bahwa tujuan hakiki baru akan bisa tercapai jika seseorang yang berpaling kepada Tuhan telah meninggalkan segala yang akan menjadi gangguan, ketika agama sudah diberikan prioritas utama di atas segala aktualitas duniawi.

Ingatlah! Seseorang bisa saja menipu mahluk lainnya. Orang bisa terkecoh pandangannya melihat seseorang melakukan shalat lima kali sehari atau melakukan beberapa amal baik lainnya, namun Tuhan tidak bisa ditipu. Karena itu amal saleh harus dilakukan dengan ketulusan yang murni karena hal inilah yang menambah keindahan dari amal tersebut.

Patut selalu diingat mengenai makna dari Kalimah Shahadat yang kita ucapkan setiap hari. Dengan Kalimah itu seseorang mengikrarkan secara lisan dan bersaksi dengan hatinya bahwa baginya Sang Maha Esa yang patut disembah dan dikasihi adalah Wujud Tunggal yang menjadi tujuan hakiki.

Dialah Allah swt dan tak ada sesuatu apa pun selain Dia. Arti kata Ilaha dalam Kalimah tersebut mengandung makna ‘yang terkasih’, ‘wujud yang menjadi tujuan hakiki’ dan ‘wujud yang disembah dan dihormati.’

Pernyataan itu merupakan inti keseluruhan ajaran Al-Quran dalam bentuk paling padat yang diajarkan kepada umat Muslim. Karena tidak mudah menghafal kitab yang demikian tebal dan rinci, Kalimah ini diajarkan agar setiap orang tetap bisa memelihara esensi ajaran Islam secara konstan dalam fikirannya. Sesungguhnya sebelum semua realitas itu berakar dalam kalbu manusia, maka tidak ada keselamatan baginya. Karena itulah Hazrat Rasulullah saw. menyatakan: ‘Barangsiapa yang mengikrarkan bahwa tidak ada tuhan/yang disembah/diibadahi selain Allah, ia akan masuk surga.’ Dengan kata lain, seseorang yang sepenuhnya mengimani ‘la ilaha illallah’ maka ia akan masuk ke dalam surga.

Sebenarnya manusia menipu dirinya sendiri jika mengira bahwa mengulang-ulang suatu kata seperti burung beo, akan memberi mereka kemudahan masuk surga. Jika realitas memang demikian adanya maka semua amal akan menjadi mubazir dan sia-sia dan Shariah bisa dianggap, naudzubillah, tidak relevan.

Nyatanya tidak demikian adanya. Yang patut diperhatikan ialah makna yang terkandung di dalamnya haruslah meresap ke dalam hati saat pengamalannya. Jika hal ini bisa tercapai maka benar bahwa yang bersangkutan telah masuk surga, bukan setelah kematian, tetapi sekarang juga dalam kehidupan kini yang bersangkutan telah memasuki surga. (Malfuzat, vol. 9, h.102 – 104)

Yang dikemukakan di atas ini adalah kompilasi ekstraksi yang diambil dari Malfuzat. Malfuzat adalah judul dari sepuluh jilid buku yang berisi kumpulan diskursus, khutbah dan nasihat Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. dari Qadian, Masih Maud dan Imam Mahdi.

…Setelah itu perhatikanlah bahwa yang kedua adalah Shalat, yang diwajibkan dan berulang-kali ditegaskan oleh Al-Quran. Ingatlah juga bahwa Al-Quran menegur mereka yang menegakkan Shalat tetapi tidak memahami makna daripadanya dan tetap saja bersikap kejam kepada sesama manusia. Shalat dalam realitasnya adalah permohonan kepada Allah swt agar Dia menjaga kita dari segala keburukan dan perbuatan jahat.

Manusia sesungguhnya berada dalam keadaan menyedihkan dan kesepian dimana ia mendambakan kedamaian dan kepuasan kalbu yang merupakan hasil bawaan dari keselamatan. Namun keselamatan demikian tidak mungkin dicapai hanya dengan kecerdikan atau keterampilan seseorang. Sampai dengan Tuhan telah memanggil maka tidak ada yang bisa menghadap kepada-Nya, sampai dengan Dia mensucikan maka tidak ada orang yang disucikan.

Banyak yang menjadi saksi atas realita bahwa seringkali manusia menginginkan dirinya bersih dari segala dosa, namun tidak juga berhasil meski telah berulangkali berupaya melakukannya. Meski kesadaran dirinya, Nafsi Lawwama, yaitu semangat yang menegur dirinya sendiri telah mengingatkan, tetapi tetap saja ia gagal dan tergelincir kembali. Dari sini bisa disimpulkan bahwa pensucian seseorang dari segala dosa adalah kinerja Tuhan adanya. Manusia tidak mungkin mencapai hal itu hanya atas dasar upayanya sendiri. Namun memang harus diakui bahwa upaya ke arah tersebut merupakan hal yang mutlak harus dikerjakan.

Shalat adalah untuk membasuh batin yang penuh dengan dosa serta telah melenceng jauh dari Tuhan. Adalah untuk mendekatkan ruh kepada Tuhan maka ada sarana yang bernama Shalat, melalui apa kejahatan bisa dipupus dan kalbu diisi dengan perasaan dan emosi yang suci. Inilah yang mendasari pernyataan bahwa Shalat memupus segala keburukan atau mencegah seseorang melakukan suatu yang tidak pantas atau tidak berakhlak.

Lalu apa yang dimaksud dengan Shalat? Itu adalah laku doa yang penuh dengan kepedihan dan karena itu disebut Shalat. Permohonan yang diajukan kepada Tuhan dilakukan dengan memelas dan kesedihan agar Tuhan mau mengangkat segala fikiran buruk, perasaan jelek dan emosi negatif dari kalbu seseorang dan Dia mau mensucikannya dari dalam dirinya dengan cara menciptakan kasih hakiki sebagai gantinya melalui berkat dan rahmat-Nya.

Kata Shalat menunjuk kepada kenyataan bahwa doa tidak cukup hanya dengan lisan saja, karena haruslah kata-kata doa itu dilambari dengan perasaan gelisah dan khawatir. Tuhan tidak akan mendengarkan doa seseorang sampai yang bersangkutan mencapai tingkatan seperti akan mati rasanya (karena kegelisahan memohon di hadapan Tuhan). Sesungguhnya doa itu sulit dan kebanyakan orang tidak memahami hakikatnya. Banyak orang telah menyurati diriku mengatakan bahwa mereka telah berdoa untuk sesuatu tetapi doa mereka tidak membawa efek apa-apa sehingga akhirnya mereka berpandangan negatif terhadap Tuhan mereka dan mereka galau oleh perasaan putus asa. Mereka tidak memahami bahwa doa yang tidak diikuti persyaratan lainnya itu, sulit akan mendapat manfaatnya.

Salah satu persyaratan doa ialah hati itu harus demikian luluh sehingga mencair dan mengalir seperti air yang menuju ke kaki Tuhan yang Maha Agung, diikuti perasaan pedih dan gelisah. Yang bersangkutan jangan sampai tidak sabar dan mengharapkan hasil segera. Ia harus terus menerus berdoa dan kesabaran serta beristiqomah. Barulah setelah itu bisa mengharapkan doanya dikabulkan.

Shalat merupakan doa pada tingkat yang amat tinggi. Menyedihkan sekali bahwa manusia belum memahami nilainya dan mereka menganggapnya hanya sebagai gerakan-gerakan tegak, membungkuk dan sujud diikuti dengan bacaan rapalan seperti burung beo, mengerti atau tidak mengerti artinya. Yang menyedihkan juga ialah umat Muslim zaman ini tidak lagi mengenali fitrat hakiki daripada Shalat dan malah tidak melakukannya secara teratur. Bahkan ada golongan yang malah meninggalkan Shalat untuk diganti dengan beberapa rapalan atau pengulangan beberapa kata-kata. Dari antara golongan itu adalah Noshahi dan Chashti serta beberapa lainnya. Orang-orang seperti itu sebenarnya menyerang agama Islam dan ajarannya dari dalam, setelah itu karena telah menjauh dari disiplin Islam, lalu mencoba menciptakan Syariah baru.

Ingatlah selalu dengan pasti bahwa kita ini tidak memerlukan adanya inovasi baru jika kita dan semua pencari kebenaran telah diberkati dengan Shalat. Setiap kali Hazrat Rasulullah saw. dihadapkan pada kesulitan dan musibah, beliau pasti segera mendirikan Shalat. Pengalaman kita sendiri dan mereka yang mencari kebenaran menunjukkan bahwa tidak ada yang lebih baik daripada Shalat untuk membawa seseorang mendekat kepada Tuhan.

Ketika seseorang berdiri dalam Shalat, ia itu mengambil sikap hormat. Jika seorang sahaya berdiri di hadapan tuannya, tentulah ia berdiri dengan tangan bersidekap. Posisi membungkuk juga merupakan laku hormat yang lebih tinggi derajatnya dari berdiri tegak, sedangkan sujud menjadi bentuk penghormatan yang paling tinggi tingkatannya. Jika seseorang sedang dalam keadaan pasrah sepenuhnya, ia akan mengambil laku sujud.

Celakalah orang-orang tolol dan duniawi yang ingin mempersingkat Shalat serta berkeberatan untuk membungkuk atau pun sujud. Padahal jsuteru hal-hal tersebut merupakan aspek yang terpuji. Sampai seseorang menyadari sepenuhnya akan kawasan dari mana Shalat diturunkan maka selama itu juga ia tidak akan memperoleh apa-apa. Namun bagaimana mereka yang tidak beriman kepada Allah swt akan bisa meyakini manfaat Shalat? (Malfuzat/kumpulan sabda pendiri jama’ah Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalam vol. 9, h.108 – 110)

Rukun Islam ketiga adalah Puasa. Pada umumnya manusia tidak menyadari fitrat hakiki daripada laku puasa, samanya seperti orang yang belum pernah bepergian ke suatu negeri maka ia tidak akan bisa menceritakan kondisinya. Yang dimaksud dengan laku puasa bukan hanya asal lapar dan haus saja. Puasa memiliki realitas dan efek yang hanya bisa diketahui melalui pengalaman.

Sudah menjadi fitrat manusia bahwa tambah sedikit yang dimakannya maka tambah tinggi derajat pensucian ruhani yang bisa dicapainya serta bertambah kapasitasnya untuk mendapatkan kashaf. Apa yang dikehendaki Tuhan dalam hal ini adalah mengurangi asupan jenis makanan yang satu dan meningkatkan asupan jenis ‘makanan’ lainnya. Seseorang yang berpuasa harus selalu mencermati hal ini bahwa tujuan daripada berpuasa bukanlah semata-mata melaparkan diri tetapi perlu baginya membagi waktu untuk zikir Ilahi agar ia bisa meninggalkan kehidupan duniawi dan berpaling kepada Tuhan. Dengan demikian makna laku puasa adalah dengan mengkaliskan satu jenis makanan yang menghidupi tubuhnya ia akan memperoleh jenis ‘makanan’ lain yang menghidupi dan memuaskan ruhaninya.

Orang yang berpuasa demi Tuhan-nya dan bukan karena tradisi atau adat kebiasaan, ia sepatutnya menyibukkan diri dengan tasbih dan takbir Ilahi disamping merenungi dirinya sendiri agar jenis ‘makanan’ yang lain itu dikaruniakan pula kepadanya.

penerjemah alm Abdul Qoyyum Khalid dari malfuzhat/sabda-sabda Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jama’ah Ahmadiyah

…Begitu juga dengan ibadah Haji yang menjadi rukun Islam keempat. Yang dimaksud dengan ibadah Haji bukan hanya semata agar seseorang meninggalkan negerinya, berlayar melalui lautan, melantunkan beberapa rapalan dan kemudian pulang. Realitas daripada Haji sesungguhnya amat luhur dan menggambarkan titik tertinggi dalam tingkat hubungan seseorang dengan Allah swt.

Masalah ini patut dipahami bahwa ketika seseorang menjauhkan dirinya dari nafsu duniawi maka dirinya itu berharap bisa karam sepenuhnya dalam kasih Ilahi. Gairah dari kasih demikian akan berkembang sampai kepada suatu tingkatan dimana kesulitan perjalanan atau pun mara bahaya atas diri dan harta miliknya atau juga keterpisahan dari yang dikasihinya tidak lagi menjadi sesuatu yang berarti baginya.

Sebagaimana seseorang yang siap mengurbankan segalanya bagi sang kekasih, begitu juga halnya dengan orang yang mencintai Tuhan sama siap melakukannya. Contoh simbolis dari bentuk hubungan demikian tergambar dalam laku Haji.

Sebagaimana seseorang yang kasmaran mengitari kekasihnya, begitu juga yang dilakukan orang saat tawaf sekeliling Ka’abah pada pelaksanaan ibadah Haji. Masalah ini pelik dan halus sekali. Sebagaimana ada sebuah Baitullah (Rumah Tuhan) di bumi, begitu juga yang sama ada di atas sana. Kalau kita tidak bertawaf juga pada yang di atas itu maka tidak ada manfaatnya tawaf yang dilakukan di bumi dan karena itu tidak ada ganjarannya. Keadaan tawaf yang dilakukan pada ‘orbit’ yang lebih tinggi itu haruslah sama seperti yang terlihat di bumi dimana orang hanya menggunakan pakaian yang paling mendasar. Mereka yang bertawaf pada Baitullah yang luhur juga sama harus menanggalkan ‘pakaian’ keduniawian dan berlaku merendahkan diri dan lembut hati serta melakukan tawaf dengan hati penuh kecintaan. Tawaf merupakan simbol dari kecintaan kepada Tuhan yang sangat, dimana seseorang melakukan tawaf mengitari wujud keridhaan Ilahi, dan tidak ada tujuan lain dari laku demikian.

Begitu pula halnya dengan Zakat. Banyak orang yang membayar Zakat tetapi melakukannya tanpa memahami apa yang mereka kerjakan. Jika seekor babi atau anjing disembelih dengan cara Islam, tidak akan menjadikan dagingnya lalu menjadi halal.

Arti kata Zakat merupakan derivasi dari kata tazkiyah (yang artinya mensucikan). Sucikanlah harta kalian dan bayarkan Zakat dari sana. Ia yang memberikan dari harta yang disucikan sesungguhnya menegakkan kebenaran. Adapun ia yang tidak membedakan antara Halal dan Haram, sesungguhnya ia jauh dari marifat.

Setiap orang patut menjauhkan diri dari kesalahan-kesalahan demikian dan memahami sepenuhnya hakikat daripada rukun-rukun Islam. Barulah setelah itu rukun itu menjadi sarana keselamatan dan bukan sebaliknya, karena manusia cenderung melenceng jauh dari arah yang benar. (Malfuzat, vol. 9, h.122 – 124)

PERJANJIAN ANTARA BERBAGAI SUKU MEDINAH

Di samping mempersatukan para Muhajirin dengan kaum Ansar dalam ikatan persaudaraan, Rasulullah saw. menjalin perjanjian antara semua penduduk Medinah. Dengan perjanjian itu bangsa Arab dan bangsa Yahudi dipersatukan dalam kewargaan kota bersama-sama dengan kaum Muslimin. Rasulullah saw. menerangkan kepada orang-orang Arab dan Yahudi bahwa sebelum kaum Muslimin muncul sebagai sebuah golongan di Medinah, terdapat hanya dua golongan di Medinah. Tetapi dengan adanya kaum Muslimin sekarang jadi ada tiga golongan. Jadi, memang sudah sewajarnya agar bersama-sama mengadakan perjanjian yang mengikat semua golongan dan perjanjian itu menjamin keamanan kepada semuanya. Persetujuan itu berbunyi :

Antara Rasulullah saw. dan orang-orang Muslim di satu pihak dan semua lain-lainnya di pihak lain yang sukarela ikut serta dalam perjanjian ini. Jika seorang dari kaum Muhajirin terbunuh, kaum Muhajirin sendiri yang bertanggung-jawab. Kewajiban pembebasan tawanan-tawanan mereka pun menjadi tanggung jawab mereka. Kaum Ansar pun sama-sama bertanggungjawab atas jiwa dan tawanan mereka sendiri. Siapa memberontak atau meruncingkan permusuhan dan kekacauan akan dipandang sebagai musuh bersama. Oleh karena itu, adalah menjadi kewajiban semua lainnya untuk memeranginya, walaupun andaikata ia anak atau keluarga sendiri. Jika seorang yang tidak beriman terbunuh dalam perang oleh seorang mukmin, maka sanak-saudaranya yang beriman tidak akan mengadakan tindakan pembalasan. Tidak akan mereka bantu juga orang-orang tak beriman terhadap orang-orang beriman. Kaum Yahudi yang masuk ke dalam perjanjian ini akan dibantu oleh kaum Muslimin. Kaum Yahudi tidak akan dihadapkan kepada suatu kesukaran. Musuh-musuh mereka tidak akan dibantu memerangi mereka. Tidak ada orang tak beriman diperkenankan memberi perlindungan kepada siapa pun dari Mekkah. Ia tidak akan menjadi wali atas milik seorang Mekkah. Dalam peperangan antara kaum Muslimin dan kaum musyrikin ia tidak akan berpihak. Jika seorang orang mukmin dianiaya tanpa alasan, kaum Muslimin berhak berkelahi melawan mereka yang aniaya. Jika musuh orang-orang mukmin menyerang Medinah, kaum Yahudi akan berpihak kepada kaum Muslimin dan sama-sama menanggung perongkosan perang. Suku-suku Yahudi yang berada dalam ikatan perjanjian dengan suku-suku Medinah lainnya akan mempunyai hak yang sama dengan orang-orang Muslim. Kaum Yahudi akan berpegang pada agama mereka dan kaum Muslimin pada agama mereka sendiri. Hak-hak kaum Yahudi menjadi hak-hak tiap-tiap pengikutnya. Warga kota Medinah tidak berhak menyatakan perang tanpa disahkan oleh Rasulullah. Tetapi, hal itu tidak mengganggu hak tiap-tiap pribadi untuk mengadakan tindakan pembalasan terhadap kesalahan pribadi. Kaum Yahudi akan memikul sendiri biaya organisasi mereka sendiri dan kaum Muslimin pun demikian. Tetapi dalam peperangan mereka akan bertindak secara terpadu. Kota Medinah akan dipandang suci dan tak dirusak oleh penandatanganan perjanjian ini. Orang-orang asing yang mendapat perlindungan warga kotanya akan diperlakukan sebagai warga-warga kota. Tetapi, kaum Medinah tidak akan mengizinkan seorang wanita jadi warga kota tanpa izin keluarganya. Segala perselisihan akan diserahkan kepada keputusan Allah dan Rasul-Nya. Pihak-pihak yang bernaung dalam ikatan perjanjian ini tidak berhak mengadakan persetujuan apapun dengan kaum Mekkah atau sekutunya. Hal itu disebabkan pihak-pihak yang bernaung dalam perjanjian ini sepakat untuk menghadapi musuh bersama; pihak-pihak itu akan tetap bersatu baik dalam keadaan aman maupun dalam keadaan perang. Tidak ada pihak yang akan mengadakan perdamaian secara tersendiri. Tetapi tidak ada suatu pihak yang bertindak melampaui batas dapat dibawahkan kepada ancaman hukuman. Sesungguh-sungguhnya Tuhan itu pelindung orang-orang yang benar dan orang-orang mukmin, dan Muhammad adalah Rasul-Nya (Hisyam).

Demikian perjanjian tersebut secara singkat disusun dari carik-carik naskah yang diperoleh dari catatan sejarah. Perjanjian itu menekankan, tanpa ragu-ragu lagi, bahwa dalam pemecahan perselisihan-perselisihan dan perbalahan-perbalahan di antara golongan-golongan di Medinah, dasar yang menjadi pedoman adalah kejujuran, kebenaran dan keadilan. Mereka yang berbuat melampaui batas norma-norma, dipandang bertanggung-jawab atas pelanggaran-pelanggaran itu. Perjanjian itu menjelaskan bahwa Rasulullah saw. telah bertekad bulat untuk bertindak dengan hormat dan kasih sayang terhadap warga kota Medinah lainnya dan untuk memandang dan memperlakukan mereka sebagai saudara. Jika perselisihan dan pertentangan kemudian timbul, maka tanggung-jawabnya terletak pada kaum Yahudi.

by Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a.

Ya Allah, hamba panjatkan doaku kepada Engkau. Hamba sangat lemah. Kaumku memandang rendah dan hina kepadaku. Engkau adalah Tuhan-ku. Kepada siapa lagi Engkau akan melepaskan hamba; kepada orang-orang asingkah yang mengusirku atau kepada musuhkah yang menganiaya hamba di kotaku sendiri? Jika Engkau tidak murka kepada hamba, hamba tak akan menghiraukan mereka, musuh-musuh itu. Semoga rahmat Engkau beserta hamba ini. Hamba berlindung di dalam Nur wajah-Mu. Engkaulah yang dapat mengusir kegelapan dari bumi ini dan menganugerahkan kedamaian di sini dan di akhirat. Janganlah murka dan kutuk Engkau turun kepada hamba-Mu ini. Engkau tak pernah murka kecuali untuk segera rida sesudahnya. Dan tidak ada kekuasaan dan perlindungan kecuali beserta Engkau (Hisyam dan Tabari).

Hadits Tidak Ada Al-Mahdi Kecuali Isa Ibnu Maryam Dan Jawabannya
Kamis, 18 Agustus 2005 16:35:54 WIB

Sebagian orang yang mengingkari hadits-hadils Al-Mahdi mengemukakan alasan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah saw bersabda : “Tidaklah bertambah urusan melainkan semakin sulit, dunia semakin rusak. manusia semakin bakhil; dan tidaklah datang kiamat melainkan atas manusia yang paling jelek. dan tidak ada Al-Mahdi kecuali Isa bin Maryam”. Alasan mereka ini dijawab bahwa hadits ini adalah dha’if karena dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Muhammad bin Khalid Al-Jundi. Mengenai Muhammad ini Adz-Dzahabi mengatakan “Al-Azdi berkata mungkar haditsnya”. dan Abu Abdillah Al-hakim berkkata, “majhul”.
Orang-Orang Yang Mengingkari Hadits Al-Mahdi Dan Jawabannya
Kamis, 24 Februari 2005 13:19:31 WIB

Ada sejumlah penulis pada zaman ini yang mengingkari kedatangan Al-Mahdi dan mengatakan bahwa hadits-hadits tentang Al-Mahdi itu tanaqudh dan batil, Sebagian penulis itu terpengaruh oleh pendha’ifan sejarawan Ibnu Khaldun terhadap hadits-hadits Al-Mahdi, padahal Ibnu Khaldun sendiri tidak termasuk pakar dalam lapangan ini yang layak diterima pengesahan dan pendha’ifannya. Dalam hal ini, setelah mengemukakan banyak hadits mengenai Al-Mahdi dan mencela banyak sanadnya, beliau berkata, “Inilah sejumlah hadits yang diriwayatkan para Imam mengenai Al-Mahdi dan kedatangannya pada akhir zaman; sedangkan hadits-hadits itu sebagaimana yang saya ketahui tidak lepas dari kritik kecuali hanya sedikit atau sangat sedikit.”

Bulan Puasa, dalam bahasa Al-quran disebut bulan Ramadhan (Syahru Romadhoona).
Ramadhan itu bulan ke sembilan tahun Qamariyah. Ramadhan berasal dari kata ramadha. Orang mengatakan ramadha ash-shai’mu, artinya, bagian dalam tubuh orang yang berpuasa menjadi sangat panas dan haus karena berpuasa (Lane).
Bulan Puasa di sebut Bulan Ramadhan, karena :
(1) Puasa di bulan itu menimbulkan panas disebabkan haus.
(2) Beribadah di bulan Ramadhan, membakar habis bekas-bekas dosa manusia ( ‘Asakir dan Mardawih)
(3) Beribadah di bulan Ramadhan, menimbulkan dua gejolak api kecintaan yang berkobar-kobar dan membara :
a. Api kecintaan kepada Allah (hablum-minallaah)
b. Api kecintaan kepada sesama manusia (hablum-minannaas)

(Suber : Terjemah Tafsir Al-Quran JAI, catatan kaki no 207A, hal. 132)

Transito, 01 September 2009/Tabuk 1388 HS


Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Bergabung dengan 27 pelanggan lain
September 2009
M S S R K J S
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
27282930  

Top Rating

Komentar Terbaru

Ratu Adil - 666 pada Ratu Adil Bukan Orang Ind…
Ratu Adil - 666 pada Ratu Adil Bukan Orang Ind…
Ratu Adil - 666 pada Ratu Adil Bukan Orang Ind…
Ratu Adil - 666 pada Ratu Adil Bukan Orang Ind…
Ratu Adil - 666 pada Ratu Adil Bukan Orang Ind…

RSS Berita Detik

  • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.